PERBEDAAN PENYITAAN DAN PERAMPASAN

 

PERBEDAAN PENYITAAN DAN BARANG RAMPASAN NEGARA

Oleh

Advokat

 

Pertanyaan:

Saya sebagai korban yang memiliki hak kebendaan berupa tanah dan bangunan di daerah Jakarta yang disita dan dirampas untuk negara oleh Kejaksaan dalam perkara tindak pidana korupsi, pertanyaan saya apakah ada perbedaan antara penyitaan dan perampasan? 

Pembahasan:

Bahwa terdapat perbedaan antara penyitaan dan barang rampasan negara. Penyitaan dilakukan pada tahap penyidikan, sedangkan barang rampasan negara merupakan perampasan terhadap benda sitaan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan atau penetapan Pengadilan Negeri (khusus untuk perkara korupsi) serta dinyatakan dirampas untuk negara. Hal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, tindakan penyitaan terhadap benda hasil kejahatan akan digunakan oleh penyidik untuk kepentingan pembuktian pada tahap penyidikan, penuntutan dan peradilan.Dalam hukum acara pidana kita, aset yang disita atau diblokir statusnya adalah “barang bukti” (physical evidence)”. (Luhut M.P. Pangaribuan, “Hukum Pidana Khusus Tindak Pidana Ekonomi, Pencucian Uang, Korupsi dan Kerjasama Internasional serta Pengembalian Aset”, Pustaka Kemang, 2016, hal. 596). Karena konsep keadilan dalam hukum pidana dapat dimaknai bahwa siapa yang bersalah wajib dihukum, berdasarkan barang dan atau alat bukti yang telah disita.

Jika merujuk dalam ketentuan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP berbunyi:

“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan

Penyitaan tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, kecuali benda yang disita berhubungan langsung dengan tindak pidana berdasarkan Pasal 39 ayat (1) KUHAP. Menurut Pasal 38 ayat (1) KUHAP penyitaan harus mendapatkan izin dari “Ketua Pengadilan Negeri setempat” sesuai dengan tempat dimana benda tersebut disita, hal ini diperkuat dengan pendapat “Rumusan Ketua Pengadilan Negeri setempat dimaksudkan adalah tempat dimana barang-barang yang akan disita itu termasuk dalam wilayah hukumnya”. (Leden Marpaung, “Proses Penanganan Perkara Pidana Penyelidikan dan Penyidikan”, Sinar Grafika, 2009, hal.3)

Bahwa “dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak” penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, penyitaan ini hanya dapat dilakukan atas benda bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) KUHAP. Penilaian keadaan yang sangat perlu dan mendesak, lebih dititik beratkan kepada penilaian subjektif penyidik. Terutama sepanjang yang mengenai pengertian “patut dikhawatirkan” segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang mungkin dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan”. (M. Yahya Harahap,“Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan”, Sinar Grafika, 2007, hal. 255)

Kedua, barang rampasan negara adalah bentuk pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) berbunyi:

“Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut”

Tabel Perbedaan Penyitaan dan Perampasan

NO

KETERANGAN

PERBANDINGAN

1.

Penyitaan

  1. Dilakukan pada tahap penyidikan
  2. Harus mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri
  3. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak penyitaan dapat dilakukan tanpa mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri

2.

Perampasan

  1. Dilakukan pasca adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)
  2. Dilakukan pasca adanya penetapan Pengadilan Negeri (khusus untuk perkara korupsi)
  3. Hasil benda sitaan dinyatakan dirampas untuk negara


Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

 

Referensi:

  1. Luhut M.P. Pangaribuan, 2016, “Hukum Pidana Khusus Tindak Pidana Ekonomi, Pencucian Uang, Korupsi dan Kerjasama Internasional serta Pengembalaian Aset”, Pustaka Kemang.
  2. Leden Marpaung, 2009, “Proses Penanganan Perkara Pidana Penyelidikan dan Penyidikan”, Sinar Grafika.
  3. Yahya Harahap, 2007, “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan”, Sinar Grafika.