PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
Oleh
Advokat
Pertanyaan:
Perlukah pasangan suami isteri membuat perjanjian perkawinan dan apa akibat hukumnya apabila tidak ada perjanjian perkawinan?
Pembahasan:
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka akan saya bahas tentang perjanjian perkawinan dan perlukah perjanjian perkawinan tersebut dibuat.
- Pengertian Perjanjian Perkawinan
- Perlukah Perjanjian Perkawinan dibuat
Perjanjian perkawinan atau perjanjian pranikah sama dengan perjanjian pada umumnya, yaitu suatu perjanjian antara dua orang calon suami istri untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing dan hal-hal lain yang dibuat menjelang perkawinan atau selama perkawinan, dan disahkan oleh instansi yang berwenang.
Untuk membahas perjanjian perkawinan, maka yang perlu diperhatikan pertama adalah Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian. Sebuah perjanjian akan diawali dengan lahirnya kesepakatan. Kesepakatan lahir dari kehendak para pihak tanpa ada unsur paksaan, penipuan ataupun kekhilafan. Selain kesepakatan juga diperlukan adanya syarat kecakapan dari para pihak yang membuat perjanjian.
Berdasarkan pada KUHPerdata dikatakan orang yang tidak cakap adalah orang yang belum dewasa, dikatakan belum dewasa karena belum berusia 21 tahun atau belum menikah dan orang yang berada di bawah pengampuan sedangkan menurut Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dinyatakan bahwa Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
Suatu perjanjian juga harus memiliki objek yang jelas dan dibuat karena suatu sebab yang halal dimana perjanjian tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak berlawanan dengan norma kesusilaan, ataupun ketertiban umum.
Syarat adanya kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subjektif perjanjian, jika kedua syarat subjektif ini dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan syarat adanya objek yang jelas dan sebab yang halal merupakan syarat objektif perjanjian, apabila kedua syarat objektif ini dilanggar maka perjanjian batal demi hukum.
Untuk membuat perjanjian perkawinan di Indonesia sebagian masyarakat masih menganggap sebagai hal yang kurang pantas, karena sebagian masyarakat mengartikan perjanjian tersebut dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan antara calon pasangan suami istri, sebetulnya perjanjian perkawinan dibuat untuk melindungi dan menjamin kelangsungan hidup para pihak, baik untuk menjamin harta masing-masing pihak maupun untuk menjamin keberlangsungan hidup anak-anak nantinya apabila terjadi resiko perceraian.
Dalam pandangan islam membuat perjanjian perkawinan hukumnya mubah artinya tidak dilarang atau dibolehkan, asalkan tidak melanggar asas-asas perjanjian dalam hukum Islam. Sedangkan dalam hukum positif Indonesia, Perjanjian perkawinan diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tanggal 27 Mei 2015.
Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan :
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.”
Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dibuat dalam suatu ikatan perkawinan (bisa dibuat sebelum dan bisa juga dibuat selama masa perkawinan). Perjanjian perkawinan dapat juga dibuat saat perkawinan hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang pada intinya menyatakan bahwa, Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ;
“Pada waktu, sebelum perkawinan dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.
Demikian Penjelasan singkat atas pertanyaan tersebut di atas semoga dapat bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tanggal,27 Mei 2015.