MANTAN ISTRI TIDAK MAU BERBAGI HARTA BERSAMA
Oleh
Advokat
Pertanyaan:
Si A (suami) dan B (istri) menjalin hubungan perkawinan, namun karena terjadi ketidak harmonisan dalam rumah tangga, keduanya resmi bercerai setelah 5 tahun mengarungi bahtera rumah tangga. Selanjutnya si A meminta kepada si B agar harta bersama selama perkawinan dibagi, namun Si B menolaknya karena selama ini dia lah yang bekerja dan menghasilkan banyak harta. Apakah terkait dengan sikap Si B tersebut dapat dilindungi oleh Undang-Undang?
Pembahasan:
Di dalam rumah tangga biasanya sering terjadi perselisihan sehingga menyebabkan perceraian. Kemudian menimbulkan adanya ketidaksepakatan salah satunya terkait dengan pembagian harta. Apalagi jika salah satu pihak merasa paling lelah dalam mengumpulkan materi selama berumah tangga.
Maka jika si A (suami) meminta kepada si B (istri) agar harta bersama selama perkawinan dibagi namun Si B menolaknya karena selama ini dia lah yang bekerja dan menghasilkan banyak harta. Apakah terkait dengan sikap Si B bisa dibenarkan menurut peraturan yang berlaku di Indonesia?
Dari beberapa perkara penyelesaian harta bersama, sering kali salah satu pihak merasa paling berhak atas harta bersama daripada mantan suami/istrinya. Hal ini biasanya dilandasi dengan tidak adanya peran salah satu pasangan suami istri secara merata dalam memperoleh harta bersama tersebut.
Pembagian harta bersama dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan ketika suatu perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud dengan hukum disini yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Apabila si A dan si B beragama Islam maka dapat tunduk pada ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Yang isinya menyatakan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak ½ dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (Baca: Kedudukan Perjanjian Perkawinan Dalam Proses Perceraian)
Namun dalam kenyataan praktek di Pengadilan, Hakim dalam memutus suatu perkara gugatan pembagian harta bersama juga mempertimbangkan unsur keadilan bagi para pihak. Sehingga harta bersama tidak dibagi sama rata 50%:50%. Salah satu contohnya yaitu putusan di Pengadilan Agama Bantul dengan No.: 229/Pdt.G/2009/PA.BTL yang kemudian dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta No.: 34/Pdt.G/2009/PTA.Yk. Hingga akhirnya diperiksa pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung dengan No: 266 K/AG/2010 tanggal 21 Juli 2010. Dalam kasus tersebut, pembagian harta bersama diputus dengan pembagian ¾ untuk istri (penggugat) dan ¼ untuk suami (tergugat).
Tinjauan hukum Islam dan Pasal 97 KHI mengenai pembagian harta bersama: analisis Putusan Pengadilan Agama Bantul No. 229/Pdt.G/2009/PA.Btl. Jo Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta No. 34 Pdt.G/2009 PTA Yk. jo. Putusan Mahkamah Agung No. 266K/AG/2010.
Adapun pertimbangan Hakim dalam perkara tersebut adalah karena seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan hasil kerja keras si istri. Sedangkan suami tidak pernah membawa atau menggunakan hasil kerjanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Suami dianggap tidak pernah menjalankan kewajibannya dalam memberikan nafkah kepada keluarganya. Sehingga jika ketentuan mengenai pembagian harta bersama secara 50%:50% diterapkan dalam kasus tersebut, maka akan menghilangkan unsur keadilan dalam penegakan hukum.
Bahwa seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dan kebenaran filosofis (keadilan). Seorang hakim harus mampu membuat putusan-putusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat. (Harta Bersama Perkawinan dan Permasalahannya”, Drs. H. M. Anshary, MK.,S.H., M.H)
Dasar Hukum:
- UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
- Kompilasi Hukum Islam
Referensi:
- Harta Bersama Perkawinan dan Permasalahannya”, Drs. H. M. Anshary, MK.,S.H., M.H. (Buku)
- Afridha Nur Fadhilla, Tinjauan hukum islam dan pasal 97 kompilasi hukum islam mengenai pembagian harta bersama : analisis Putusan Pengadilan Agama Bantul No. 229/Pdt.G/2009/PA.Btl. Jo Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta No. 34 Pdt.G/2009 PTA Yk. jo. Putusan Mahkamah Agung No. 266K/AG/2010
- Putusan Pengadilan Agama Bantul No. 229/Pdt.G/2009/PA.Btl. Jo Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta No. 34 Pdt.G/2009 PTA Yk. jo. Putusan Mahkamah Agung No. 266K/AG/2010